Oleh:
Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA
Pemerhati Masalah Politik dan Kelautan
Usaha bangsa Indonesia mencapai Persatuan Bangsa, Kesatuan  Negara, dan Keutuhan Nusantara telah melewati jangka waktu yang sangat  panjang. Setelah mengalami penjajahan Belanda selama lebih dari tiga abad,  menjelang akhir abad ke 19 timbul kesadaran bahwa bangsa Indonesia yang  bercerai berai dengan mudah dapat di adu-domba satu sama lain yang  tidak memungkinkan tercapainya cita-cita untuk memerdekakan bangsa.  Dengan lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908, Kebangkitan Nasional Indonesia  mulai bersemi, khususnya tentang pentingnya unsur pendidikan bagi  usaha-usaha mencapai kemerdekaan, kemajuan dan kemakmuran. Kebangkitan  Kebangsaan tersebut kemudian melahirkan Kesadaran Politik yang menghimpun segala kemampuan rakyat dan golongan melalui Partai Politik, baik yang bersifat keagamaan, nasionalisme, maupun sosialisme.  Diperlukan waktu 20 tahun sejak munculnya rasa Kebangkitan Nasional 1908 untuk dapat melahirkan rasa Kesatuan Kebangsaan dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menyatakan tekad rakyat Indonesia untuk hidup sebagai Satu Bangsa, dalam Satu Tanah Air, dengan satu bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia.
Perjuangan politik Bangsa Indonesia yang dijiwai oleh Sumpah Pemuda 1928 tersebut memerlukan waktu 17 tahun lagi untuk mencapai Proklamasi Kemerdekaan yang pada dasarnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia yang telah bangkit dan bersatu itu ingin dan bertekad untuk hidup dalam Satu Negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di proklamasikan tahun 1945.  NKRI 1945 itu ditopang dan dijiwai oleh semangat Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan, prinsip Bhineka Tunggal Ika dengan semangat musyawarah dan mufakat disertai tradisi gotong royong. Diperlukan pula waktu lebih dari 4 tahun dalam perang kemerdekaan yang mengorbankan jiwa raga dan harta benda bangsa yang tidak sedikit untuk  memperjuangkan pengakuan dunia internasional terhadap Negara Indonesia  tersebut yang baru tercapai setelah Konferensi Meja Bundar di Denhaag  tahun 1949, 40 tahun setelah kebangkitan bangsa 1908.
NKRI  yang lahir tahun 1945 itu pernah mengalami tantangan dari semangat  federalis yang didalangi oleh kekuatan kolonial melalui Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)  yang umurnya tidak lebih dari setahun dan yang kemudian ditinggalkan  oleh bangsa Indonesia karena dijiwai oleh kepentingan colonial yang  menentang berdirinya NKRI.
Dalam tahun 1950 Indonesia kembali kepada Negara Kesatuan. Tetapi dengan system pemerintahan yang bersifat parlementer.  Sementara itu, Republik Indonesia mengalami pula pergantian-pergantian  UUD antara lain melalui UUD RIS (1949-1950) dan UUD RI 1950 (1950-1959),  dan kembali lagi ke UUD 1945 pada tahun 1959, yaitu 50 tahun sejak  Kebangkitan Nasional 1908. Sejarah memperlihatkan bahwa Republik  Indonesia dengan jiwa demokrasi parlementer sejak 1950 tidak mampu membawa kestabilan di dalam negeri. Pemerintah silih berganti dengan koalisi partai politik yang berubah-rubah, pertentangan ideologi tetap berlanjut disertai pertentanganÂ-pertentangan yang disebabkan oleh rasa keagamaan dan rasa kedaerahan  yang berlebihan, sementara kekuatan asing tetap mengintai untuk melihat  agar Indonesia tetap terpecah belah, sedangkan perjuangan mengembalikan  Irian Barat (kini Papua) kepangkuan NKRI tetap mengalami kemacetan.
Sementara  itu, Indonesia mulai merasakan bahwa salah satu faktor dari sulitnya  mengembangkan Persatuan Bangsa dan Kesatuan Negara tersebut adalah komposisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan  yang diselingi oleh laut-laut yang luas. Pada mulanya, sesuai dengan  ketentuan Hukum Internasional pada waktu itu dirumuskan oleh  negara-negara kolonial, kedaulatan Indonesia di laut hanyalah sampai  tiga mil laut dari pantai masing-masing pulau.  Dengan  demikian maka laut-laut antar pulau Indonesia dianggap sebagai laut  bebas yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja dan negara mana saja,  termasuk ruangnya dan kekayaan alamnya, dan dalam beberapa hal malah  juga dimanfaatkan untuk mengadu-domba dan memisahkan bangsa Indonesia  dari satu pulau kepulau lainnya demi untuk dapat menguasai bangsa  Indonesia tersebut.
Barulah dalam bulan Desember 1957  Pemerintah Indonesia menyadari dan mengumumkan bahwa Sumpah Pemuda 1928  yang menyatakan tekad bangsa Indonesia untuk hidup dalam Satu Tanah Air tersebut harus berarti bahwa laut-laut  yang terletak antara pulau-pulau Indonesia tanpa memperhatikan lebarnya  dan dalamnya haruslah di manfaatkan untuk memperkuat rasa satu  Kebangsaan dan satu Kenegaraan Indonesia. Laut harus berfungsi sebagai pemersatu Bangsa dan Negara, bukan sebagai pemisah pulau dan pemecah belah Bangsa dan Negara.
Deklarasi  Nusantara Indonesia 1957 tersebut mendapat protes dan tantangan dari  berbagai-bagai negara didunia. Deklarasi tersebut pada dasarnya  menekankan bahwa satu kesatuan Tanah Air Indonesia itu haruslah terdiri  dari Kesatuan Wilayah antara darat dengan laut, termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya, udara diatas darat dan lautnya, serta seluruh kekayaan yang terdapat didalamnya.
Diperlukan waktu 25 tahun bagi usaha-usaha diplomasi Indonesia untuk memperjuangkan agar konsepsi kesatuan Negara Nusantara/Kepulauan tersebut mendapat pengakuan dunia Internasional di dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Setelah itu diperlukan waktu 12 tahun lagi untuk membuat Konvensi Hukum Laut PBB 1982 tersebut berlaku secara Internasional dalam bulan November 1994.
Kini, kita sedang merayakan 100 tahun Kebangkitan Nasional 1908 dan 80 tahun sejak Sumpah Pemuda untuk mencapai satu Kesatuan Bangsa, Tanah Air, dan Bahasa, 63 tahun sejak Proklamasi Kemerdekaan, dan 51 tahun sejak Deklarasi Nusantara 1957.  Jika  diingat mulai sejak perjuangan pahlawan bangsa sebelum 1908, mulai dari  Teuku Umar di Aceh sampai ke Pattimura di Maluku, maka perjuangan  bangsa yang sangat panjang untuk mencapai dan memperkokoh persatuan Bangsa, kesatuan Kenegaraan, dan kesatuan Kewilayahan  tersebut merupakan 3 tiang utama Indonesia. Ketiga tiang utama inilah  yang selalu mendapat tantangan dan grogotan, baik dari dalam negeri  maupun dari luar negeri, baik di masa lalu maupun dewasa ini.  Hal ini antara lain disebabkan oleh masih minimnya kesadaran bangsa terhadap peran laut sebagai pemersatu bangsa.  Berbagai  usaha meningkatkan kesatuan bangsa dan Negara melalui perhubungan  darat, laut, udara dan telekomunikasi telah dilakukan dengan tingkat  hasil-hasil yang berbeda.  Dewasa ini usaha-usaha pemersatu  bangsa dan perkembangan ekonomi mulai pula dibangun melalui jembatan  dan terowongan-terowongan, malah bukan hanya dalam suatu Negara tetapi  juga antar negara dan antar benua.
Beberapa  Negara di dunia sudah lama memulai proyek-proyek besar seperti ini demi  untuk mempererat rasa persatuan bangsa dan negaranya, memperlancar  perhubungan, pembangunan ekonomi, pemerintahan, pertahanan, dan  lain-lain. Amerika Serikat sudah banyak membangun jembatan yang sangat  panjang untuk mempermudah dan mengefisiensikan perekonomiannya. China  baru selesai membangun jembatan terpanjang di dunia yang kabarnya lebih  dari 40 KM. Denmark dan Swedia sudah lama membangun jembatan melalui  selat strategis yang memisahkan kedua Negara tersebut. Turki sudah  selesai membangun jembatan melintasi selat Bosporus yang memisahkan  benua Eropa dengan benua Asia.  Perancis dan Inggris telah membangun terowongan di bawah Selat Dover yang menghubungkan kedua Negara tersebut.  Malah  Vietnam pun baru saja selesai membangun jembatan yang sangat panjang  dan tinggi di Halong Bay untuk mempercepat pembangunan ekonomi di utara  Vietnam dan yang menghubungkan Hanoi melalui jalan raya ke China dan  terus ke pantai timur dan pedalaman China. Sementara Suez Canal yang  panjangnya ratusan kilometer telah digali untuk menghubungkan Laut  Tengah dengan Laut Merah dan Samudera Hindia sejak abad 19 yang lalu. Di  kawasan kita sudah lama ada cita-cita besar untuk membangun Kra Canal  melalui Thailand Selatan untuk menghubungkan laut Andaman dengan teluk  Siam dan laut Cina Selatan terus ke Jepang dan Asia Timur  untuk menghadapi semakin padatnya selat Malaka dan selat Singapura.  Malah akhir-akhir ini sudah pula terdengar suara-suara untuk membangun  jembatan dan terowongan melintasi selat Malaka melalui pulau Rupat dan  Malaka untuk menghubungkan Malaysia dengan Sumatera agar dengan demikian  perokonomian Sumatera (dan Indonesia) dapat terkait erat dengan  perkembangan ekonomi di Asia Tenggara dan China.
Disinilah  terletak arti strategis yang sangat penting dari Jembatan Selat Sunda.  Pemerintah propinsi Lampung dan Banten sudah menandatangani kesepakatan  untuk membangun jembatan tersebut. Berbagai-bagai segi teknis, ekonomis,  hukum, dan lain-lainnya dewasa ini sedang giat dipelajari. Presiden SBY  sendiri sudah memberikan dorongannya dan para Menteri terkait juga  sudah mendukung rencana tersebut. Pembangunan JSS bukanlah hal yang  gampang, murah ataupun mudah dilakukan dalam waktu sekejap mata.  Pembangunan tersebut akan memakan waktu bertahun-tahun, dukungan modal  yang sangat besar, serta ketekunan dari para anak bangsa untuk mendukung  dan merealisirnya. Para pemuka bangsa sebelum 1908 dan sesudahnya  mempunyai visi masa depan yang tangguh terhadap kesatuan bangsa, negara  dan kewilayahan Indonesia, dan bersedia berjuang dan berkorban untuk  tujuan-tujuan besar tersebut. Dalam rangka memperingati 100 tahun Kebangkitan Bangsa, 80 tahun Sumpah Pemuda, 63 tahun Kemerdekaan Indonesia, dan 51 tahun Deklarasi Djuanda,  saya percaya bahwa bangsa Indonesia dan para pemimpinnya sekarang ini  tidak kehilangan semangat juang, visi jangka panjang, berpikir besar,  dan rasa berbakti, berjuang, dan berkorban untuk kepentingan satu bangsa, satu negara, dan satu tanah air, yaitu Indonesia.  Pembangunan Jalan tol dalam kota Jakarta antara Cawang- Tanjung Priok,  Jembatan Tiga sampai ke Grogol pada dasarnya adalah jembatan.
Semoga  bangsa Indonesia, khususnya generasi sekarang dan generasi yang akan  datang tidak akan melupakan perjuangan bangsa yang panjang ini dan tidak  kembali terpecah belah dalam semangat golongan dan kedaerahan yang  sempit, yang dengan mudah akan dapat di manfaatkan oleh  kepentingan-kepentingan yang tidak menginginkan Persatuan Bangsa,  Kesatuan Negara dan Kesatuan Kewilayahan dalam NKRI. 
Profile singkat Penulis:
Nama:Prof Dr Hasjim Djalal
Lahir:Sumatera Barat, 25 Februari 1934
Pendidikan:MA (1959) dan Ph.D (1961) dari University of  Virginia
Jabatan:- Anggota Dewan Maritim  Indonesia
- Penasehat Senior Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Karir:Mantan diplomat di Deplu dan Dubes RI di beberapa  negaraÂ
sumber : http://www.jembatanselatsunda.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100:perjuangan-panjang-dan-mahal-bangsa-indonesia-mencapai-persatuan-dan-kesatuan-&catid=37:artikel&Itemid=59 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar